Wednesday, May 11, 2011

الحلال بين والحرام بين وبينهما أمور مشتبهات

Share |
Antara Maqashid Syariah dan Karakter Umat (3)





Rabu, 16 Maret 2011

Tulisan Pertama / Tulisan Kedua

Oleh: Dr Elly Warti Maliki

Kedua: Hak hidup sebagai dasar untuk menjaga jiwa

Jika hukuman mati dan segala bentuk sanksi fisik disyariatkan untuk menjaga jiwa, maka memenuhi kebutuhan hidup seperti makan dan minum, pakaian dan tempat tinggal, kesehatan dan keamanan merupakan hak hidup yang harus dipenuhi. Sumber kedua hal tersebut terdapat di dalam al-Qur'an dan al-Sunnah.

"Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah 2:179).

Hal ini kemudian dijelaskan oleh Al-Sunnah: "Barang siapa membunuh dengan sengaja maka ia harus dihukum qishash.” (Hadis riwayat Abu Daud).

Adapun yang berhubungan dengan hak hidup, Islam telah mengatur kebutuhan manusia terhadap materil sedemikian rupa, mulai dari cara mendapatkannya, pendistribusiannya sampai kepada pemanfaatannya. Mulai dari sandang, pangan dan papan sampai kepada kenyamanan dan ketentraman hidup. Allah S.W.T. telah memerintahkan kaum muslimin untuk mencari harta yang halal, kemudian menafkahkannya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan Allah di dalam al-Qur'an, membayarkan zakat, infaq dan sedekah kepada fakir miskin dan golongan lain yang berhak menerimanya, sehingga tidak ada orang yang hidup terlantar.

Sehubungan dengan cara mendapatkan harta kekayaan dan pendistribusiannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya Allah S.W.T. berfirman: "Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba". (QS. Al-Baqarah 2:275).
Pada ayat lain Allah S.W.T. berfirman: "Sesungguhnya zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. Al-Taubah 9:60).

Solidaritas sosial ini selanjutnya ditegaskan oleh Al-Sunnah, di antaranya diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah s.a.w: “Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman. Ditanya: “Siapa, ya Rasulullah?” Rasul menjawab, “Orang yang tidur dalam keadaan kenyang sedangkan tetangganya lapar dan dia mengetahuinya." (Hadis riwayat Anas bin Malik).

Hak hidup di sini mengandung makna bahwa setiap orang di dunia ini berhak untuk hidup layak, cukup pangan, sandang dan papan, bebas dari kemiskinan dan penindasan. Untuk itu, sistim ekonomi dan politik dunia, harus dapat membuat tatanan masyarakat dunia yang bebas dari kemiskinan dan hidup penuh rasa nyaman serta bebas dari rasa takut dan tekanan.

Dengan demikian, kekayaan dunia yang hanya awalnya dipegang segelintir orang dan terfokus dinegara-negara maju dapat didistribusikan secara merata untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup manusia secara keseluruhan. Konsep ini sejalan dengan resolusi PBB yang belakangan diterapkan, tentang penghapusan kemiskinan yang tercantum dalam butir pertama Mellenium Development Goals dan ditargetkan tercapai menjelang tahun 2015. Padahal, ini telah disampaikan dalam al-Quran belasan abad Islam.

Ketiga: Hak berpendidikan sebagai dasar untuk menjaga akal

Jika larangan meminum khamar dan semua minuman yang memabukkan disyariatkan untuk menjaga akal, maka mengembangkan fungsi akal melalui pendidikan formal dan non-formal, penyediaan bahan bacaan, penelitian dan berbagai bentuk kegiatan yang dapat mengoptimalkan fungsi akal merupakan hak pendidikan yang harus dipenuhi.

Sumber kedua hal tersebut terdapat di dalam al-Qur'an dan al-Sunnah menjelaskannya.

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." (QS. Al-Maidah 5:90).

Adapun yang berhubungan dengan hak pendidikan, Allah S.W.T. telah memerintahkan kaum muslimin untuk menuntut ilmu, dan menempatkan orang yang berilmu lebih tinggi beberapa derajat. Allah S.W.T. berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu:` Berlapang-lapanglah dalam majelis `, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan:` Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". (QS. Al-Mujadilah 58:11).

Al-Sunnah menegaskan: "Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan". (Hadis riwayat Ibnu Majah).

Hak berpendidikan berarti bahwa setiap orang di dunia ini berhak mendapatkan ilmu pengetahuan sesuai dengan kemampuannya. Pihak manapun – baik pemerintah ataupun non-pemerintah, individu ataupun organisasi – tidak boleh melarang atau menghalangi seseorang untuk mendapatkan ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya. Sebaliknya badan-badan ini harus menyediakan berbagai fasilitas untuk mencapainya. Dengan cara ini, arah maqashid syariah telah dirubah dan dikembangkan dari sekedar menjaga struktur akal kepada mengoptimalkan fungsi akal tersebut.

Pendidikan berkualitas merupakan dasar bagi pembangunan ekonomi sosial untuk mengakhiri kemiskinan dan keterbelakangan. Jika di tingkat "alam Islamy" (dunia Islam) para cendekiawan dan hartawan dapat melakukan kerjasama untuk memberantas buta huruf dan kebodohan dikalangan umat Islam, kemudian bersama-sama mengembangkan teknologi menuju kemandirian iptek untuk mengurangi ketergantungan kepada negara maju, maka akan terbentuklah "khairu ummatin" yang berkualitas, yang lebih berpendidikan dan lebih berilmu pengetahuan.

Hal ini juga sejalan dengan program "Pendidikan Untuk Semua" yang dicanangkan PBB melalui "Millennium Development Goals". Atas dasar ini, dunia Islam yang merupakan pihak yang sangat berkepentingan dalam memajukan pendidikan masyarakatnya, diharapkan ikut berpartisipasi aktif dalam mendorong dan merealisir tercapainya tujuan tersebut.

Keempat: Hak bekerja sebagai dasar untuk menjaga harta

Jika hukuman bagi pencuri dan sanksi serta tuntutan jaminan bagi perampas kekayaan disyariatkan untuk menjaga harta, maka bekerja, berkarya, mendorong orang untuk mendapatkan kekayaan yang halal, menginvestasikannya, dan juga menyediakan lapangan kerja merupakan hak bekerja yang harus dipenuhi. Sumber kedua hal tersebut juga terdapat di dalam al-Qur'an dan al-Sunnah menjelaskannya.

"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (QS. Al-Maidah 5:38). Hal ini kemudian dijelaskan oleh Al-Sunnah bahwa pada zaman Rasulullah s.a.w, baginda tidak memotong tangan seseorang yang mencuri kurang dari harga sebuah perisai". (Hadis riwayat Aisyah r.a).

Adapun yang berhubungan dengan hak bekerja, Allah S.W.T. telah memerintahkan kaum muslimin untuk giat bekerja dan mendapatkan kekayaan secara halal.
Allah S.W.T. berfirman: "Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung". (QS. Al-Jumuah 62:10).

Dalam ayat lain Allah berfirman: “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan”. (QS. Al-Baqarah: 2/148).

Dorongan untuk giat bekerja kemudian ditegaskan Rasulullah saw melalui sabdanya: “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada mukmin yang lemah”. (Hadis riwayat Abu Hurairah).

Dengan dimasukannya hak bekerja sebagai hak asasi bagi manusia, orang akan terdorong untuk bekerja dan meningkatkan taraf hidupnya, yang pada gilirannya akan melahirkan sikap optimis untuk terus melakukan penemuan-penemuan. Hal ini sekaligus dapat memotivasi orang untuk selalu berfikir produktif dan membuat karya-karya baru, yang dapat meningkatkan kemandirian ekonomi sehingga setiap saat siap menghadapi perubahan pasar. Karena kerja merupakan wujud keberadaan manusia di muka bumi dan seseorang dikenal dan diperhitungkan berdasarkan kerja yang dilakukan, maka fighting spirit (semangat bersaing) yang diberikan Islam untuk melakukan kebaikan, seharusnya dapat mengantarkan umat ini mencapai kejayaan.

Selain pekerjaan itu sendiri, hak bekerja berarti juga bahwa setiap pekerja berhak mendapatkan standar gaji minimum, asuransi kesehatan, keselamatan kerja, jaminan hari tua dan fasilitas lainnya sesuai tingkat pendidikan dan kemampuannya.

Tidak ada negara yang dapat berbuat sewenang-wenang terhadap pekerja. Negara yang berbuat sewenang-wenang terhadap pekerja dan tidak memberikan haknya dapat dikategorikan sebagai pelanggar HAM dan dapat dikenakan sangsi. Dengan cara ini, arah maqashid syariah telah dirubah dan dikembangkan dari sekedar menjaga harta yang ada kepada upaya untuk mendapatkan, sekaligus mengembangkannya.

Kelima: Hak pengakuan eksistensi sebagai dasar untuk menjaga harga diri.

Jika hukuman bagi penuduh dan sangsi bagi penghasut, penggunjing dan pencela disyariatkan untuk menjaga harga diri manusia, maka pengakuan eksistensi kemanusiaan melalui persamaan, keadilan dan persaudaraan merupakan hak kemanusiaan yang harus dipenuhi. Sumber kedua hal tersebut terdapat di dalam al-Qur'an dan al-Sunnah menjelaskannya.

Sehubungan dengan hukuman bagi penuduh Allah S.W.T. berfirman: "Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik". (QS. Al-Nuur 24:4).

Adapun yang berhubungan dengan penghormatan, persamaan dan keadilan, Allah S.W.T. telah memuliakan anak Adam yaitu seluruh manusia dan memerintahkan untuk berbuat adil kepada siapapun tanpa kecuali, baik kepada orang yang disukai ataupun terhadap orang yang dibenci. Allah S.W.T. berfirman: "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan". (QS. Al-Isra' 17:70).

Dalam ayat lain Allah S.W.T. berfirman: "Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa." (QS. Al Maidah: 5/8).

Keadilan sebagai asas masyarakat Islam ditegaskan Rasulullah dalam sabda beliau: ”Demi Allah, jikalau Fatimah binti Muhammad mencuri, akan aku potong tangannya.” (Hadis Riwayat Aisyah r.a.).

Hak pengakuan terhadap eksistensi diri manusia berarti bahwa sebagai makhluk sosial, manusia sama dihadapan Allah S.W.T dan sama dihadapan hukum. Setiap orang berhak diperlakukan secara adil dan berprikemanusiaan. Hal ini berlaku dimasa damai maupun ketika terjadi peperangan. Manusia adalah manusia sekalipun sudah menjadi jasad tidak bernyawa. Dalam peperangan ataupun bencana alam, penguburan manusia tidak boleh dilakukan sebagaimana binatang dikuburkan. Dengan cara ini, arah maqashid syariah telah dirubah dan dikembangkan dari sekedar menjaga harga diri kepada pengakuan eksistensi diri.

Epilog

Kelima hak yang bersumber dari al-Qur'an dan al-Sunnah sebagaimana disebutkan di atas adalah hak asasi manusia lintas negara. Berlaku umum untuk seluruh manusia dimuka bumi ini. Terlepas dari ras, agama, status sosial, warna kulit dan lain sebagainya. Jika kelima hak tersebut dapat dijadikan landasan dalam menetapkan batasan hak-hak dasar bagi manusia maka setiap individu di muka bumi ini akan dapat hidup layak dan terlindungi.

Dengan demikian tidak seorang manusiapun yang perlu mengangkat senjata hanya untuk mendapatkan haknya.

Seorang muslim dalam kerangka "umat moderat" tidak menggunakan maqashid syariah sekedar untuk penjagaan atau perlindungan yang membuat mereka menjadi lemah, terbelakang dan tidak mampu menghadapi realita, bukan pula menggunakannya sekedar untuk pencapaian keinginan-keinginan dan kebutuhan hidup yang membuat mereka terlepas dari ikatan dengan Khaliqnya, menafikan eksistensi wahyu dan menegasikan syariat.

Sebaliknya, "umat moderat" menggunakan maqashid syariah secara seimbang. Di suatu saat digunakan untuk penjagaan terhadap agama, jiwa, akal, harta dan kehormatan, di saat lain digunakan untuk pengembangan dan pencapaian, sekaligus untuk menemukan solusi terhadap berbagai persoalan yang dihadapi.

Dengan demikian, seorang Muslim dalam kerangka "umat moderat", akan memandang hidup ini melalui realita yang ada dan mampu berinteraksi dengannya untuk kemudian mengunggulinya. Bukan memandang sinis kenyataan dan memusuhinya, bukan pula cair dan larut di dalamnya.

Dengan sikap proaktif, dinamis dan adaptif yang dibangun melalui maqashid syari'ah, peran konsumen sebagai pelaksana kebijakan yang selama ini dijalankan umat, dengan sendirinya akan beralih kepada peran produsen sebagai pembuat kebijakan, atau setidaknya ikut berperan dalam membuat kebijakan tersebut. Dari situ --dalam berinteraksi dengan dunia global-- umat diharapkan dapat memberikan kontribusi lebih besar dalam menentukan arah bagi tatanan dunia baru yang damai, lebih adil dan lebih manusiawi. *

Penulis adalah anggota International Union for Muslim Scholars

Rep: Administrator
Red: Cholis Akbar

الحلال بين والحرام بين وبينهما أمور مشتبهات

Share |
Antara Maqashid Syariah dan Karakter Umat (3)





Rabu, 16 Maret 2011

Tulisan Pertama / Tulisan Kedua

Oleh: Dr Elly Warti Maliki

Kedua: Hak hidup sebagai dasar untuk menjaga jiwa

Jika hukuman mati dan segala bentuk sanksi fisik disyariatkan untuk menjaga jiwa, maka memenuhi kebutuhan hidup seperti makan dan minum, pakaian dan tempat tinggal, kesehatan dan keamanan merupakan hak hidup yang harus dipenuhi. Sumber kedua hal tersebut terdapat di dalam al-Qur'an dan al-Sunnah.

"Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah 2:179).

Hal ini kemudian dijelaskan oleh Al-Sunnah: "Barang siapa membunuh dengan sengaja maka ia harus dihukum qishash.” (Hadis riwayat Abu Daud).

Adapun yang berhubungan dengan hak hidup, Islam telah mengatur kebutuhan manusia terhadap materil sedemikian rupa, mulai dari cara mendapatkannya, pendistribusiannya sampai kepada pemanfaatannya. Mulai dari sandang, pangan dan papan sampai kepada kenyamanan dan ketentraman hidup. Allah S.W.T. telah memerintahkan kaum muslimin untuk mencari harta yang halal, kemudian menafkahkannya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan Allah di dalam al-Qur'an, membayarkan zakat, infaq dan sedekah kepada fakir miskin dan golongan lain yang berhak menerimanya, sehingga tidak ada orang yang hidup terlantar.

Sehubungan dengan cara mendapatkan harta kekayaan dan pendistribusiannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya Allah S.W.T. berfirman: "Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba". (QS. Al-Baqarah 2:275).
Pada ayat lain Allah S.W.T. berfirman: "Sesungguhnya zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. Al-Taubah 9:60).

Solidaritas sosial ini selanjutnya ditegaskan oleh Al-Sunnah, di antaranya diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah s.a.w: “Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman. Ditanya: “Siapa, ya Rasulullah?” Rasul menjawab, “Orang yang tidur dalam keadaan kenyang sedangkan tetangganya lapar dan dia mengetahuinya." (Hadis riwayat Anas bin Malik).

Hak hidup di sini mengandung makna bahwa setiap orang di dunia ini berhak untuk hidup layak, cukup pangan, sandang dan papan, bebas dari kemiskinan dan penindasan. Untuk itu, sistim ekonomi dan politik dunia, harus dapat membuat tatanan masyarakat dunia yang bebas dari kemiskinan dan hidup penuh rasa nyaman serta bebas dari rasa takut dan tekanan.

Dengan demikian, kekayaan dunia yang hanya awalnya dipegang segelintir orang dan terfokus dinegara-negara maju dapat didistribusikan secara merata untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup manusia secara keseluruhan. Konsep ini sejalan dengan resolusi PBB yang belakangan diterapkan, tentang penghapusan kemiskinan yang tercantum dalam butir pertama Mellenium Development Goals dan ditargetkan tercapai menjelang tahun 2015. Padahal, ini telah disampaikan dalam al-Quran belasan abad Islam.

Ketiga: Hak berpendidikan sebagai dasar untuk menjaga akal

Jika larangan meminum khamar dan semua minuman yang memabukkan disyariatkan untuk menjaga akal, maka mengembangkan fungsi akal melalui pendidikan formal dan non-formal, penyediaan bahan bacaan, penelitian dan berbagai bentuk kegiatan yang dapat mengoptimalkan fungsi akal merupakan hak pendidikan yang harus dipenuhi.

Sumber kedua hal tersebut terdapat di dalam al-Qur'an dan al-Sunnah menjelaskannya.

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." (QS. Al-Maidah 5:90).

Adapun yang berhubungan dengan hak pendidikan, Allah S.W.T. telah memerintahkan kaum muslimin untuk menuntut ilmu, dan menempatkan orang yang berilmu lebih tinggi beberapa derajat. Allah S.W.T. berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu:` Berlapang-lapanglah dalam majelis `, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan:` Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". (QS. Al-Mujadilah 58:11).

Al-Sunnah menegaskan: "Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan". (Hadis riwayat Ibnu Majah).

Hak berpendidikan berarti bahwa setiap orang di dunia ini berhak mendapatkan ilmu pengetahuan sesuai dengan kemampuannya. Pihak manapun – baik pemerintah ataupun non-pemerintah, individu ataupun organisasi – tidak boleh melarang atau menghalangi seseorang untuk mendapatkan ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya. Sebaliknya badan-badan ini harus menyediakan berbagai fasilitas untuk mencapainya. Dengan cara ini, arah maqashid syariah telah dirubah dan dikembangkan dari sekedar menjaga struktur akal kepada mengoptimalkan fungsi akal tersebut.

Pendidikan berkualitas merupakan dasar bagi pembangunan ekonomi sosial untuk mengakhiri kemiskinan dan keterbelakangan. Jika di tingkat "alam Islamy" (dunia Islam) para cendekiawan dan hartawan dapat melakukan kerjasama untuk memberantas buta huruf dan kebodohan dikalangan umat Islam, kemudian bersama-sama mengembangkan teknologi menuju kemandirian iptek untuk mengurangi ketergantungan kepada negara maju, maka akan terbentuklah "khairu ummatin" yang berkualitas, yang lebih berpendidikan dan lebih berilmu pengetahuan.

Hal ini juga sejalan dengan program "Pendidikan Untuk Semua" yang dicanangkan PBB melalui "Millennium Development Goals". Atas dasar ini, dunia Islam yang merupakan pihak yang sangat berkepentingan dalam memajukan pendidikan masyarakatnya, diharapkan ikut berpartisipasi aktif dalam mendorong dan merealisir tercapainya tujuan tersebut.

Keempat: Hak bekerja sebagai dasar untuk menjaga harta

Jika hukuman bagi pencuri dan sanksi serta tuntutan jaminan bagi perampas kekayaan disyariatkan untuk menjaga harta, maka bekerja, berkarya, mendorong orang untuk mendapatkan kekayaan yang halal, menginvestasikannya, dan juga menyediakan lapangan kerja merupakan hak bekerja yang harus dipenuhi. Sumber kedua hal tersebut juga terdapat di dalam al-Qur'an dan al-Sunnah menjelaskannya.

"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (QS. Al-Maidah 5:38). Hal ini kemudian dijelaskan oleh Al-Sunnah bahwa pada zaman Rasulullah s.a.w, baginda tidak memotong tangan seseorang yang mencuri kurang dari harga sebuah perisai". (Hadis riwayat Aisyah r.a).

Adapun yang berhubungan dengan hak bekerja, Allah S.W.T. telah memerintahkan kaum muslimin untuk giat bekerja dan mendapatkan kekayaan secara halal.
Allah S.W.T. berfirman: "Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung". (QS. Al-Jumuah 62:10).

Dalam ayat lain Allah berfirman: “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan”. (QS. Al-Baqarah: 2/148).

Dorongan untuk giat bekerja kemudian ditegaskan Rasulullah saw melalui sabdanya: “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada mukmin yang lemah”. (Hadis riwayat Abu Hurairah).

Dengan dimasukannya hak bekerja sebagai hak asasi bagi manusia, orang akan terdorong untuk bekerja dan meningkatkan taraf hidupnya, yang pada gilirannya akan melahirkan sikap optimis untuk terus melakukan penemuan-penemuan. Hal ini sekaligus dapat memotivasi orang untuk selalu berfikir produktif dan membuat karya-karya baru, yang dapat meningkatkan kemandirian ekonomi sehingga setiap saat siap menghadapi perubahan pasar. Karena kerja merupakan wujud keberadaan manusia di muka bumi dan seseorang dikenal dan diperhitungkan berdasarkan kerja yang dilakukan, maka fighting spirit (semangat bersaing) yang diberikan Islam untuk melakukan kebaikan, seharusnya dapat mengantarkan umat ini mencapai kejayaan.

Selain pekerjaan itu sendiri, hak bekerja berarti juga bahwa setiap pekerja berhak mendapatkan standar gaji minimum, asuransi kesehatan, keselamatan kerja, jaminan hari tua dan fasilitas lainnya sesuai tingkat pendidikan dan kemampuannya.

Tidak ada negara yang dapat berbuat sewenang-wenang terhadap pekerja. Negara yang berbuat sewenang-wenang terhadap pekerja dan tidak memberikan haknya dapat dikategorikan sebagai pelanggar HAM dan dapat dikenakan sangsi. Dengan cara ini, arah maqashid syariah telah dirubah dan dikembangkan dari sekedar menjaga harta yang ada kepada upaya untuk mendapatkan, sekaligus mengembangkannya.

Kelima: Hak pengakuan eksistensi sebagai dasar untuk menjaga harga diri.

Jika hukuman bagi penuduh dan sangsi bagi penghasut, penggunjing dan pencela disyariatkan untuk menjaga harga diri manusia, maka pengakuan eksistensi kemanusiaan melalui persamaan, keadilan dan persaudaraan merupakan hak kemanusiaan yang harus dipenuhi. Sumber kedua hal tersebut terdapat di dalam al-Qur'an dan al-Sunnah menjelaskannya.

Sehubungan dengan hukuman bagi penuduh Allah S.W.T. berfirman: "Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik". (QS. Al-Nuur 24:4).

Adapun yang berhubungan dengan penghormatan, persamaan dan keadilan, Allah S.W.T. telah memuliakan anak Adam yaitu seluruh manusia dan memerintahkan untuk berbuat adil kepada siapapun tanpa kecuali, baik kepada orang yang disukai ataupun terhadap orang yang dibenci. Allah S.W.T. berfirman: "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan". (QS. Al-Isra' 17:70).

Dalam ayat lain Allah S.W.T. berfirman: "Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa." (QS. Al Maidah: 5/8).

Keadilan sebagai asas masyarakat Islam ditegaskan Rasulullah dalam sabda beliau: ”Demi Allah, jikalau Fatimah binti Muhammad mencuri, akan aku potong tangannya.” (Hadis Riwayat Aisyah r.a.).

Hak pengakuan terhadap eksistensi diri manusia berarti bahwa sebagai makhluk sosial, manusia sama dihadapan Allah S.W.T dan sama dihadapan hukum. Setiap orang berhak diperlakukan secara adil dan berprikemanusiaan. Hal ini berlaku dimasa damai maupun ketika terjadi peperangan. Manusia adalah manusia sekalipun sudah menjadi jasad tidak bernyawa. Dalam peperangan ataupun bencana alam, penguburan manusia tidak boleh dilakukan sebagaimana binatang dikuburkan. Dengan cara ini, arah maqashid syariah telah dirubah dan dikembangkan dari sekedar menjaga harga diri kepada pengakuan eksistensi diri.

Epilog

Kelima hak yang bersumber dari al-Qur'an dan al-Sunnah sebagaimana disebutkan di atas adalah hak asasi manusia lintas negara. Berlaku umum untuk seluruh manusia dimuka bumi ini. Terlepas dari ras, agama, status sosial, warna kulit dan lain sebagainya. Jika kelima hak tersebut dapat dijadikan landasan dalam menetapkan batasan hak-hak dasar bagi manusia maka setiap individu di muka bumi ini akan dapat hidup layak dan terlindungi.

Dengan demikian tidak seorang manusiapun yang perlu mengangkat senjata hanya untuk mendapatkan haknya.

Seorang muslim dalam kerangka "umat moderat" tidak menggunakan maqashid syariah sekedar untuk penjagaan atau perlindungan yang membuat mereka menjadi lemah, terbelakang dan tidak mampu menghadapi realita, bukan pula menggunakannya sekedar untuk pencapaian keinginan-keinginan dan kebutuhan hidup yang membuat mereka terlepas dari ikatan dengan Khaliqnya, menafikan eksistensi wahyu dan menegasikan syariat.

Sebaliknya, "umat moderat" menggunakan maqashid syariah secara seimbang. Di suatu saat digunakan untuk penjagaan terhadap agama, jiwa, akal, harta dan kehormatan, di saat lain digunakan untuk pengembangan dan pencapaian, sekaligus untuk menemukan solusi terhadap berbagai persoalan yang dihadapi.

Dengan demikian, seorang Muslim dalam kerangka "umat moderat", akan memandang hidup ini melalui realita yang ada dan mampu berinteraksi dengannya untuk kemudian mengunggulinya. Bukan memandang sinis kenyataan dan memusuhinya, bukan pula cair dan larut di dalamnya.

Dengan sikap proaktif, dinamis dan adaptif yang dibangun melalui maqashid syari'ah, peran konsumen sebagai pelaksana kebijakan yang selama ini dijalankan umat, dengan sendirinya akan beralih kepada peran produsen sebagai pembuat kebijakan, atau setidaknya ikut berperan dalam membuat kebijakan tersebut. Dari situ --dalam berinteraksi dengan dunia global-- umat diharapkan dapat memberikan kontribusi lebih besar dalam menentukan arah bagi tatanan dunia baru yang damai, lebih adil dan lebih manusiawi. *

Penulis adalah anggota International Union for Muslim Scholars

Rep: Administrator
Red: Cholis Akbar

MULIANYA MENJADI SURI RUMAH

Share |
Mulianya Menjadi Ibu Rumah Tangga





Kamis, 21 April 2011

Oleh: Shaifurrokhman Mahfudz, Lc. M.Sh

Ibu adalah sekolah
Jika engkau mempersiapkannya
Berarti engkau mempersiapkan generasi berketurunan baik

MENJADI ibu adalah kodrat setiap wanita, tetapi pilihan untuk menekuni diri sebagai ibu rumah tangga bukanlah tugas yang mudah. Di tengah kepungan budaya Barat dan penjajahan media, kaum wanita hari ini telah meninggalkan identitas mulianya sebagai ‘benteng ummat’. Sebagian mereka menyibukkan diri dengan urusan-urusan kecil yang remeh, pernak-pernik perhiasan dan persaingan gaya hidup modern yang menjauhkan mereka dari keutamaan individu dan sosial. Seorang ibu dengan tampilan ‘wah’ yang bergelut mengejar materi dan status sosialnya akan lebih disegani dibandingkan ibu rumah tangga sederhana yang waktunya lebih banyak dihabiskan untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya.

Hidup di zaman ini membutuhkan ketahanan yang luar biasa. Sebagai muslim, bekal ilmu dan keduniaan yang dikaruniai Allah Swt seharusnya meyakinkan mereka akan kebenaran petunjuk Allah yang menegaskan prinsip kesetaraan (gender equality), bahwa kaum ibu bermitra sejajar dengan kaum laki-laki, dalam posisi yang sangat istimewa. Yaitu sebagai pendidik generasi penerus yang akan melanjutkan perjuangan diri dan keluarganya. Mendidik diri dan keluarganya untuk selalu memahami dan mengikuti bimbingan Allah dan Rasul-Nya. Inilah investasi besar yang sering diremehkan oleh para ‘penikmat dunia’.
Pesan Istimewa untuk Para Wanita

Salah satu pesan istimewa Allah Swt kepada kaum wanita diabadikan dalam ayat berikut; “dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (QS. 33:33)

Sesungguhnya kemajuan di zaman ini banyak diilhami oleh ayat diatas. Allah Swt menghendaki kaum wanita agar berperilaku lemah lembut, pemalu dan penuh kasih sayang kepada orang-orang di sekitarnya, tidak melakukan ucapan dan tindakan yang menimbulkan godaaan yang akan menjatuhkan martabat kaum wanita.

Karena, kehalusan budi dan tingkah laku wanita adalah salah satu pilar utama kehidupan. Ibu-ibu yang shalih akan mendidik anak-anaknya untuk menjadi shalih.

Bahkan, kaum ibu dahulu mampu membangun karakter pribadinya dan melakukan berbagai aktifitas keilmuan dibalik “tembok sunyi “ yang dapat menjaga sifat dan rasa malu. Itulah kehendak Allah atas kaum wanita. Karakter dan psikis wanita tersebut selaras dengan kondisi fisik yang diciptakan Allah Swt dalam bentuk yang berbeda dari kondisi yang dimiliki kaum laki-laki. Tubuh wanita diciptakan dalam bentuk yang sesuai benar dengan tugas keibuan, sebagaimana dengan jiwanya yang disiapkan untuk menjadi rumah tangga dan ratu keluarga. Secara umum, organ tubuh wanita, baik yang terlihat maupun yang tidak tersembunyi, otot-otot dan tulang-tulangnya serta sebagian besar fungsi organiknya hingga tingkat yang sangat jauh, berbeda dengan organ tubuh kaum laki-laki yang menjadi pasangannya. Perbedaan dalam struktur dan organ tubuh ini tidak lah sia-sia, sebab tidak ada satu

pun benda, baik dalam tubuh manusia maupun yang ada di seluruh jagat raya ini yang tidak mempunyai hikmah tertentu.

Fitrah Mulia Kaum Ibu

Dengan perbedaan struktur tubuh tersebut, kaum wanita memiliki perasaan dan emosi yang lebih sensitif. Abbas Mahmud al-‘Aqqad mengatakan. “Adalah sesuatu yang alami jika kaum wanita memiliki kondisi emosional yang khusus yang berbeda dengan kondisi yang dimiliki kaum laki-laki”. Keharusan melayani anak yang dilahirkannya tidak terbatas dengan memberi makan dan menyusui. Akan tetapi, dia harus selalu memiliki hubungan emosional yang menuntut banyak hal yang saling melengkapi antara apa yang ada pada dirinya dengan yang ada pada suaminya.

Pemahaman dirinya dalam suatu masalah harus berhadapan dengan pemahaman suaminya yang mungkin saja berbeda. Bahkan, antara tingkat emosinya dengan emosi suaminya harus benar-benar terjaga keseimbangannya. Seorang ibu yang mulia akan memahami betul saat gembira dan sedihnya anak-anak. Demikian halnya sang ibu akan mengajarkan dengan suka ria tentang bagaimana menunjukkan rasa cinta, simpati dan benci kepada orang lain dengan cara-cara yang baik dan bijaksana.

Sifat-sifat mendasar dalam fungsi pengasahan dan bimbingan terhadap anak-anak ini merupakan salah satu dari sekian banyak sumber kelembutan kewanitaan yang menyebabkan kaum wanita lebih sensitif dalam merespon perasaan. Sebaliknya, apa yang tampak mudah bagi kaum laki-laki bisa menjadi sulit bagi kaum wanita, misalnya dalam menggunakan rasio, menyusun pendapat dan mengerahkan kemauan. Itulah fitrah kaum ibu yang sesungguhnya mulia tetapi seringkali dipandang kelemahan yang memperdaya.

Salah Paham Memandang Islam

Dalam banyak ayat yang tersebar di dalam al-Qur’an, Allah Swt telah meletakkan kedudukan kaum wanita pada tempat tertinggi dalam sepanjang sejarah kemanusiaan dan akan terus demikian hingga akhir zaman. Sayangnya, ayat-ayat Allah yang dikuatkan dengan hadits Rasulullah Saw itu seringkali disalah-tafsirkan, termasuk oleh para ulama kita sendiri. Syeikh Muhammad al-Ghazali dalam buku Qadhaya al-Mar`ah bayna at-Taqalid ar-Rakidah wa al-Wafidah, dengan yakin mengatakan; “Fatwa terkenal di kalangan kaum muslimin yang kemudian diambil alih oleh musuh-musuh Islam adalah tuduhan bahwa Islam telah mendirikan dinding pembatas yang tinggi antara laki-laki dan perempuan, sehingga keduanya tidak dapat saling melihat satu sama lain. Bahkan sekadar memandang pun hukumnya haram”. Kita juga pernah dikejutkan dengan ucapan seorang khatib yang mengatakan, “wanita tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali pergi ke rumah suaminya (sesudah menikah) dan ke kuburan (untuk dikuburkan)!

Tentu saja, fatwa dan khutbah tersebut lahir dari pemahaman dan tafsiran terhadap ayat-ayat Allah dan hadits Nabi Saw yang patut ditinjau ulang. Karena memang, ada masalah dalam fenemona umat Islam berkenaan dengan kemurniaan dan kedalaman riwayat-riwayat hadits yang diterapkan. Diakui, terdapat ulama yang menyebutkan riwayat-riwayat yang tidak sahih dan para ahli fiqh yang tidak memperhatikan perubahan hakikat Islam dan perkembangan zaman. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Fatimah Ra bahwa wanita tidak boleh melihat laki-laki dan juga tidak boleh dilihat laki-laki, sebagaimana hadits Nabi Saw yang melarang sebagian istri Nabi melihat Abdullah ibn Ummi Maktum. Dalam peristiwa yang lain, Ummi Hamid; istri Abu Hamid as-Sa’di pernah menyampaikan perasaan senang hatinya karena bisa shalat berjamaah bersama Rasulullah Saw. Namun, ternyata Rasulullah justru menginginkannya untuk shalat di rumah. Bahkan, semakin sempit tempat, jauh dan sunyi, maka semakin baiklah shalat di tempat itu.

Kritik terhadap Monopoli Tafsiran Agama

Semua riwayat tersebut merupakan hadits yang tidak sama dengan hadits yang ditulis para ulama hadits yang otoritatif, karena hadits-hadits tersebut nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan Al-Qur`an dan as-Sunnah. Hadits-hadits semisal itu telah membelenggu kaum wanita dan menyudutkan kedudukan mereka sebagai golongan terbelakang. Lebih dari itu, kedudukan wanita yang demikian rendah itu akan mempengaruhi buruknya sistem keluarga, struktur masyarakat dan prinsip perundang-undangan.

Dalam merespon hal itu, Ibnu Huzaimah melakukan uji ulang dan kritik atas tafsiran hadits-hadits tersebut dengan membuat bab yang menyebutkan masalah “Shalatnya Seorang Wanita di Rumahnya Lebih Baik daripada Shalatnya di Masjid Rasulullah Saw” dan sabda Nabi Saw “Shalat di Masjidku ini Lebih Baik daripada Seribu Kali Shalat di Masjid-Masjid Lain”. Pertanyaan yang segera muncul, adalah jika ungkapan tersebut benar, mengapa Nabi Saw membiarkan wanita-wanita menghadiri shalat berjamaah bersamanya sepanjang sepuluh tahun, dari fajar hingga isya’. Mengapa mereka tidak dinasihati agar tetap tinggal di rumah-rumah mereka sebagia ganti dari ancaman yang batil itu? Mengapa beliau mempercepat shalat fajar dengan membaca dua surat pendek ketika mendengar tangisan anak kecil bersama ibunya sehingga tidak mengganggu hatinya? Mengapa beliau bersabda, “Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah pergi ke masjid-masjid Allah Swt?

Mengapa pula para Khulafaur Rasyidin menetapkan barisan-barisan wanita di masjid-masjid setelah wafatnya Rasulullah Saw.

Barangkali, Ibnu Huzaimah ingin menenteramkan dirinya dan hati kawan-kawannya ketika mendustakan hadits-hadits yang melarang wanita shalat di masjid-masjid dan menyebutnya sebagai kebatilan. Para ulama Musthalah Hadits berkata, “Sebuah hadits dianggap ganjil (syadz) jika kebenarannya ditentang oleh hadits yang lebih shahih. Apabila hadits yang menentangnya tidak dipercaya, bahkan lemah, maka hadits tersebut ditinggalkan atau bernilai munkar (tertolak)”.

Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim tidak disebutkan hal-hal yang mengarah pada larangan bagi kaum wanita untuk shalat di masjid-masjid. Hadits-hadits tersebut semuanya ditolak. Lalu, bagaimana jika hadits lemah berlawanan dengan Sunnah yang mutawatir dan dikenal? Hadits tersebut harus ditinggalkan sejak awal.
Agaknya, benarlah prediksi Nabi Saw bahwa telah datang masanya ketika hadits-hadits shahih terkebur oleh egosime keagamaan yang didominasi oleh kelompok-kelompok fanatik yang tidak tahu kecuali riwayat-riwayat yang ditinggalkan dan munkar. Monopoli tafsiran agama mereka seringkali menyakitkan sesama Muslim lainnya dengan tuduhan-tuduhan bid’ah dan kesesatan beragama yang harus ditumpas habis. Jalan dakwah ini seringkali melupakan kewajiban menjaga ukhuwwah diantara ummat Islam yang seharusya menjadi prioritas setiap da’i.

Islam Membebaskan Wanita

Jika dicermati lebih dalam, Islam tidak pernah menghalangi kemajuan kaum wanita. Sebaliknya, dari hasil kajian hadits-hadits di atas dapat dipahami bahwa Islam memberi ruang kebebasan bagi kaum hawa dengan batasan-batasan yang justru menjaga kehormatannya. Larangan terhadap kaum wanita untuk pergi ke masjid bisa diterima ketika mereka berhias secara berlebihan (tabarruj). Dan mencegah wanita dari perbuatan tercela harus dilakukan dengan merealisasikan wasiat Rasulullah Saw yang menyatakan bahwa mereka (kaum wanita) boleh keluar dengan mengenakan baju biasa, atau dengan penampilan sederhana, tidak memakai wangi-wangian dan bergaya. Sedangkan mengeluarkan hukum tentang larangan pergi ke masjid-masjid bagi wanita jelas merupakan cara yang tidak ada kaitannya dengan Islam.

Karena itu, jika seorang wanita telah melaksanakan tugas-tugas domestik di rumahnya, suami tidak berhak melarangnya untuk pergi ke masjid, sebagaimana dijelaskan dalam hadits, “Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah perhgi ke masjid-masjid-Nya”. Pernyataan ini sejalan dengan kebijakan beliau yang telah menjadikan satu pintu dari pintu-pintu masjid khusus untuk kaum wanita dan beliau menempatkan wanita-wanita dalam jamaah pada barisan paling belakang dalam masjid. Hal itu dimaksudkan untuk menjaga mereka ketika ruku’ dan sujud. Dan beliau mencela laki-laki yang mendekati barisan kaum wanita dan juga mencela wanita yang mendekati barisan kaum laki-laki.

Kebebasan seorang wanita muslim juga tidak akan terganggu karena posisinya sebagai ibu rumah tangga. Ketika Islam mewajibkan suami untuk memberi nafkah keluarganya, maka pada hakikatnya dia memberi ganti kepada kaum wanita untuk kekosongan waktunya, untuk berkiprah demi kebaikan rumah tangganya, membesarkan anak-anaknya dan mencurahkan segenap perhatiannya dalam menunaikan tugas-tugas alamiahnya. “Wanita cantik yang melupakan perhiasannya dan menyibukkan diri dengan mengasuh anak-anaknya sehingga parasnya berubah adalah wanita yang harus mendapat penghargaan dan kedudukan tinggi”. Ungkapan tersebut boleh jadi benar, tetapi penerapannya sangat ditentukan oleh kondisi masing-masing rumah tangga dan prioritas kemaslahatannya.

Yang terpenting dari itu semua, sebuah keluarga harus mempertahankan tiga hal yang menjadi pilar kebahagiaannya yaitu ketenangan, cinta dan sikap yang saling menyayangi. Kasih sayang bukanlah sejenis perhatian dalam bentuk benda, tetapi merupakan sumber bagi kehangatan yang terus mengalir, sedangkan darahnya adalah akhlak dan tingkah laku yang mulia. Ketika rumah tangga berdiri kukuh di atas kedamaian dan ketenteraman, cinta yang terbalas, dan kasih sayang yang hangat , maka perkawinan menjadi anugerah yang mulia dan harta yang penuh berkah. Ia akan mampu mengatasi berbagai rintangan dan lahirnya keturunan-keturunan yang baik. Dan, keputusan untuk menikmati kemuliaan menjadi ibu rumah tangga adalah langkah penting untuk mewujudkan itu semua.*

Penulis adalah Sekjen Andalusia Islamic Centre & Dosen STEI Tazkia Bogor


Red: Cholis Akbar

MULIANYA MENJADI SURI RUMAH

Share |
Mulianya Menjadi Ibu Rumah Tangga





Kamis, 21 April 2011

Oleh: Shaifurrokhman Mahfudz, Lc. M.Sh

Ibu adalah sekolah
Jika engkau mempersiapkannya
Berarti engkau mempersiapkan generasi berketurunan baik

MENJADI ibu adalah kodrat setiap wanita, tetapi pilihan untuk menekuni diri sebagai ibu rumah tangga bukanlah tugas yang mudah. Di tengah kepungan budaya Barat dan penjajahan media, kaum wanita hari ini telah meninggalkan identitas mulianya sebagai ‘benteng ummat’. Sebagian mereka menyibukkan diri dengan urusan-urusan kecil yang remeh, pernak-pernik perhiasan dan persaingan gaya hidup modern yang menjauhkan mereka dari keutamaan individu dan sosial. Seorang ibu dengan tampilan ‘wah’ yang bergelut mengejar materi dan status sosialnya akan lebih disegani dibandingkan ibu rumah tangga sederhana yang waktunya lebih banyak dihabiskan untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya.

Hidup di zaman ini membutuhkan ketahanan yang luar biasa. Sebagai muslim, bekal ilmu dan keduniaan yang dikaruniai Allah Swt seharusnya meyakinkan mereka akan kebenaran petunjuk Allah yang menegaskan prinsip kesetaraan (gender equality), bahwa kaum ibu bermitra sejajar dengan kaum laki-laki, dalam posisi yang sangat istimewa. Yaitu sebagai pendidik generasi penerus yang akan melanjutkan perjuangan diri dan keluarganya. Mendidik diri dan keluarganya untuk selalu memahami dan mengikuti bimbingan Allah dan Rasul-Nya. Inilah investasi besar yang sering diremehkan oleh para ‘penikmat dunia’.
Pesan Istimewa untuk Para Wanita

Salah satu pesan istimewa Allah Swt kepada kaum wanita diabadikan dalam ayat berikut; “dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (QS. 33:33)

Sesungguhnya kemajuan di zaman ini banyak diilhami oleh ayat diatas. Allah Swt menghendaki kaum wanita agar berperilaku lemah lembut, pemalu dan penuh kasih sayang kepada orang-orang di sekitarnya, tidak melakukan ucapan dan tindakan yang menimbulkan godaaan yang akan menjatuhkan martabat kaum wanita.

Karena, kehalusan budi dan tingkah laku wanita adalah salah satu pilar utama kehidupan. Ibu-ibu yang shalih akan mendidik anak-anaknya untuk menjadi shalih.

Bahkan, kaum ibu dahulu mampu membangun karakter pribadinya dan melakukan berbagai aktifitas keilmuan dibalik “tembok sunyi “ yang dapat menjaga sifat dan rasa malu. Itulah kehendak Allah atas kaum wanita. Karakter dan psikis wanita tersebut selaras dengan kondisi fisik yang diciptakan Allah Swt dalam bentuk yang berbeda dari kondisi yang dimiliki kaum laki-laki. Tubuh wanita diciptakan dalam bentuk yang sesuai benar dengan tugas keibuan, sebagaimana dengan jiwanya yang disiapkan untuk menjadi rumah tangga dan ratu keluarga. Secara umum, organ tubuh wanita, baik yang terlihat maupun yang tidak tersembunyi, otot-otot dan tulang-tulangnya serta sebagian besar fungsi organiknya hingga tingkat yang sangat jauh, berbeda dengan organ tubuh kaum laki-laki yang menjadi pasangannya. Perbedaan dalam struktur dan organ tubuh ini tidak lah sia-sia, sebab tidak ada satu

pun benda, baik dalam tubuh manusia maupun yang ada di seluruh jagat raya ini yang tidak mempunyai hikmah tertentu.

Fitrah Mulia Kaum Ibu

Dengan perbedaan struktur tubuh tersebut, kaum wanita memiliki perasaan dan emosi yang lebih sensitif. Abbas Mahmud al-‘Aqqad mengatakan. “Adalah sesuatu yang alami jika kaum wanita memiliki kondisi emosional yang khusus yang berbeda dengan kondisi yang dimiliki kaum laki-laki”. Keharusan melayani anak yang dilahirkannya tidak terbatas dengan memberi makan dan menyusui. Akan tetapi, dia harus selalu memiliki hubungan emosional yang menuntut banyak hal yang saling melengkapi antara apa yang ada pada dirinya dengan yang ada pada suaminya.

Pemahaman dirinya dalam suatu masalah harus berhadapan dengan pemahaman suaminya yang mungkin saja berbeda. Bahkan, antara tingkat emosinya dengan emosi suaminya harus benar-benar terjaga keseimbangannya. Seorang ibu yang mulia akan memahami betul saat gembira dan sedihnya anak-anak. Demikian halnya sang ibu akan mengajarkan dengan suka ria tentang bagaimana menunjukkan rasa cinta, simpati dan benci kepada orang lain dengan cara-cara yang baik dan bijaksana.

Sifat-sifat mendasar dalam fungsi pengasahan dan bimbingan terhadap anak-anak ini merupakan salah satu dari sekian banyak sumber kelembutan kewanitaan yang menyebabkan kaum wanita lebih sensitif dalam merespon perasaan. Sebaliknya, apa yang tampak mudah bagi kaum laki-laki bisa menjadi sulit bagi kaum wanita, misalnya dalam menggunakan rasio, menyusun pendapat dan mengerahkan kemauan. Itulah fitrah kaum ibu yang sesungguhnya mulia tetapi seringkali dipandang kelemahan yang memperdaya.

Salah Paham Memandang Islam

Dalam banyak ayat yang tersebar di dalam al-Qur’an, Allah Swt telah meletakkan kedudukan kaum wanita pada tempat tertinggi dalam sepanjang sejarah kemanusiaan dan akan terus demikian hingga akhir zaman. Sayangnya, ayat-ayat Allah yang dikuatkan dengan hadits Rasulullah Saw itu seringkali disalah-tafsirkan, termasuk oleh para ulama kita sendiri. Syeikh Muhammad al-Ghazali dalam buku Qadhaya al-Mar`ah bayna at-Taqalid ar-Rakidah wa al-Wafidah, dengan yakin mengatakan; “Fatwa terkenal di kalangan kaum muslimin yang kemudian diambil alih oleh musuh-musuh Islam adalah tuduhan bahwa Islam telah mendirikan dinding pembatas yang tinggi antara laki-laki dan perempuan, sehingga keduanya tidak dapat saling melihat satu sama lain. Bahkan sekadar memandang pun hukumnya haram”. Kita juga pernah dikejutkan dengan ucapan seorang khatib yang mengatakan, “wanita tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali pergi ke rumah suaminya (sesudah menikah) dan ke kuburan (untuk dikuburkan)!

Tentu saja, fatwa dan khutbah tersebut lahir dari pemahaman dan tafsiran terhadap ayat-ayat Allah dan hadits Nabi Saw yang patut ditinjau ulang. Karena memang, ada masalah dalam fenemona umat Islam berkenaan dengan kemurniaan dan kedalaman riwayat-riwayat hadits yang diterapkan. Diakui, terdapat ulama yang menyebutkan riwayat-riwayat yang tidak sahih dan para ahli fiqh yang tidak memperhatikan perubahan hakikat Islam dan perkembangan zaman. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Fatimah Ra bahwa wanita tidak boleh melihat laki-laki dan juga tidak boleh dilihat laki-laki, sebagaimana hadits Nabi Saw yang melarang sebagian istri Nabi melihat Abdullah ibn Ummi Maktum. Dalam peristiwa yang lain, Ummi Hamid; istri Abu Hamid as-Sa’di pernah menyampaikan perasaan senang hatinya karena bisa shalat berjamaah bersama Rasulullah Saw. Namun, ternyata Rasulullah justru menginginkannya untuk shalat di rumah. Bahkan, semakin sempit tempat, jauh dan sunyi, maka semakin baiklah shalat di tempat itu.

Kritik terhadap Monopoli Tafsiran Agama

Semua riwayat tersebut merupakan hadits yang tidak sama dengan hadits yang ditulis para ulama hadits yang otoritatif, karena hadits-hadits tersebut nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan Al-Qur`an dan as-Sunnah. Hadits-hadits semisal itu telah membelenggu kaum wanita dan menyudutkan kedudukan mereka sebagai golongan terbelakang. Lebih dari itu, kedudukan wanita yang demikian rendah itu akan mempengaruhi buruknya sistem keluarga, struktur masyarakat dan prinsip perundang-undangan.

Dalam merespon hal itu, Ibnu Huzaimah melakukan uji ulang dan kritik atas tafsiran hadits-hadits tersebut dengan membuat bab yang menyebutkan masalah “Shalatnya Seorang Wanita di Rumahnya Lebih Baik daripada Shalatnya di Masjid Rasulullah Saw” dan sabda Nabi Saw “Shalat di Masjidku ini Lebih Baik daripada Seribu Kali Shalat di Masjid-Masjid Lain”. Pertanyaan yang segera muncul, adalah jika ungkapan tersebut benar, mengapa Nabi Saw membiarkan wanita-wanita menghadiri shalat berjamaah bersamanya sepanjang sepuluh tahun, dari fajar hingga isya’. Mengapa mereka tidak dinasihati agar tetap tinggal di rumah-rumah mereka sebagia ganti dari ancaman yang batil itu? Mengapa beliau mempercepat shalat fajar dengan membaca dua surat pendek ketika mendengar tangisan anak kecil bersama ibunya sehingga tidak mengganggu hatinya? Mengapa beliau bersabda, “Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah pergi ke masjid-masjid Allah Swt?

Mengapa pula para Khulafaur Rasyidin menetapkan barisan-barisan wanita di masjid-masjid setelah wafatnya Rasulullah Saw.

Barangkali, Ibnu Huzaimah ingin menenteramkan dirinya dan hati kawan-kawannya ketika mendustakan hadits-hadits yang melarang wanita shalat di masjid-masjid dan menyebutnya sebagai kebatilan. Para ulama Musthalah Hadits berkata, “Sebuah hadits dianggap ganjil (syadz) jika kebenarannya ditentang oleh hadits yang lebih shahih. Apabila hadits yang menentangnya tidak dipercaya, bahkan lemah, maka hadits tersebut ditinggalkan atau bernilai munkar (tertolak)”.

Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim tidak disebutkan hal-hal yang mengarah pada larangan bagi kaum wanita untuk shalat di masjid-masjid. Hadits-hadits tersebut semuanya ditolak. Lalu, bagaimana jika hadits lemah berlawanan dengan Sunnah yang mutawatir dan dikenal? Hadits tersebut harus ditinggalkan sejak awal.
Agaknya, benarlah prediksi Nabi Saw bahwa telah datang masanya ketika hadits-hadits shahih terkebur oleh egosime keagamaan yang didominasi oleh kelompok-kelompok fanatik yang tidak tahu kecuali riwayat-riwayat yang ditinggalkan dan munkar. Monopoli tafsiran agama mereka seringkali menyakitkan sesama Muslim lainnya dengan tuduhan-tuduhan bid’ah dan kesesatan beragama yang harus ditumpas habis. Jalan dakwah ini seringkali melupakan kewajiban menjaga ukhuwwah diantara ummat Islam yang seharusya menjadi prioritas setiap da’i.

Islam Membebaskan Wanita

Jika dicermati lebih dalam, Islam tidak pernah menghalangi kemajuan kaum wanita. Sebaliknya, dari hasil kajian hadits-hadits di atas dapat dipahami bahwa Islam memberi ruang kebebasan bagi kaum hawa dengan batasan-batasan yang justru menjaga kehormatannya. Larangan terhadap kaum wanita untuk pergi ke masjid bisa diterima ketika mereka berhias secara berlebihan (tabarruj). Dan mencegah wanita dari perbuatan tercela harus dilakukan dengan merealisasikan wasiat Rasulullah Saw yang menyatakan bahwa mereka (kaum wanita) boleh keluar dengan mengenakan baju biasa, atau dengan penampilan sederhana, tidak memakai wangi-wangian dan bergaya. Sedangkan mengeluarkan hukum tentang larangan pergi ke masjid-masjid bagi wanita jelas merupakan cara yang tidak ada kaitannya dengan Islam.

Karena itu, jika seorang wanita telah melaksanakan tugas-tugas domestik di rumahnya, suami tidak berhak melarangnya untuk pergi ke masjid, sebagaimana dijelaskan dalam hadits, “Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah perhgi ke masjid-masjid-Nya”. Pernyataan ini sejalan dengan kebijakan beliau yang telah menjadikan satu pintu dari pintu-pintu masjid khusus untuk kaum wanita dan beliau menempatkan wanita-wanita dalam jamaah pada barisan paling belakang dalam masjid. Hal itu dimaksudkan untuk menjaga mereka ketika ruku’ dan sujud. Dan beliau mencela laki-laki yang mendekati barisan kaum wanita dan juga mencela wanita yang mendekati barisan kaum laki-laki.

Kebebasan seorang wanita muslim juga tidak akan terganggu karena posisinya sebagai ibu rumah tangga. Ketika Islam mewajibkan suami untuk memberi nafkah keluarganya, maka pada hakikatnya dia memberi ganti kepada kaum wanita untuk kekosongan waktunya, untuk berkiprah demi kebaikan rumah tangganya, membesarkan anak-anaknya dan mencurahkan segenap perhatiannya dalam menunaikan tugas-tugas alamiahnya. “Wanita cantik yang melupakan perhiasannya dan menyibukkan diri dengan mengasuh anak-anaknya sehingga parasnya berubah adalah wanita yang harus mendapat penghargaan dan kedudukan tinggi”. Ungkapan tersebut boleh jadi benar, tetapi penerapannya sangat ditentukan oleh kondisi masing-masing rumah tangga dan prioritas kemaslahatannya.

Yang terpenting dari itu semua, sebuah keluarga harus mempertahankan tiga hal yang menjadi pilar kebahagiaannya yaitu ketenangan, cinta dan sikap yang saling menyayangi. Kasih sayang bukanlah sejenis perhatian dalam bentuk benda, tetapi merupakan sumber bagi kehangatan yang terus mengalir, sedangkan darahnya adalah akhlak dan tingkah laku yang mulia. Ketika rumah tangga berdiri kukuh di atas kedamaian dan ketenteraman, cinta yang terbalas, dan kasih sayang yang hangat , maka perkawinan menjadi anugerah yang mulia dan harta yang penuh berkah. Ia akan mampu mengatasi berbagai rintangan dan lahirnya keturunan-keturunan yang baik. Dan, keputusan untuk menikmati kemuliaan menjadi ibu rumah tangga adalah langkah penting untuk mewujudkan itu semua.*

Penulis adalah Sekjen Andalusia Islamic Centre & Dosen STEI Tazkia Bogor


Red: Cholis Akbar

Thursday, May 5, 2011

اتقان العمل واحسانه

abufahmiabdullah.wordpress.com

Ilustrasi
TERKAIT :

Buah Kesombongan
Wudhu Batin
Beragama dengan Hati
Kerendahan Hati Sang Kepala Negara
Hikmah dari Arifin Ilham: Menjaga Amanah
Ihsan dan Itqan-lah dalam Mengemban Tugas
Friday, 06 May 2011 11:35 WIB
Oleh Prof Dr KH Didin Hafidhuddin MSc

Ihsan dan itqan adalah dua istilah yang terdapat dalam Alquran dan sunah yang berkaitan dengan amal perbuatan seorang Muslim yang harus dilakukannya dalam hidup dan kehidupannya di dunia ini. Ihsan berarti optimalisasi dalam kebaikan. Artinya, kebaikan apa pun yang dilakukan seorang Muslim harus selalu optimal dalam persiapan dan pelaksanaannya, agar hasilnya didapat secara optimal pula.

Allah SWT berfirman dalam QS al-Mulk [67]: 2: "(Dia) Yang menjadikan mati dan hidup supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya (optimal). Dan, Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun."

Jika seorang Muslim sedang melakukan ibadah maka dipersiapkan dan dilakukan dengan baik, baik ilmu pengetahuan yang berkaitan dengannya maupun teknis pelaksanaannya. Ketika melaksanakan ibadah haji, misalnya, ilmunya dipersiapkan, tata cara pelaksanaannya disempurnakan, juga menjaga kesehatan jasmani rohani, sehingga betul-betul predikat haji mabrur dapat diraih, termasuk menjaga dan mempertahankannya ketika ia sudah kembali ke kampung halamannya.

Seorang Muslim yang sedang mendapatkan amanah jabatan publik di wilayah eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif, ia penuhi amanah tersebut dengan semaksimal mungkin agar betul-betul mampu mempersembahkan yang terbaik bagi kepentingan masyarakat dan bangsa di wilayah pekerjaannya tersebut. Amanah dan profesionalitas merupakan ciri utama dari pejabat Muslim tersebut. Karena disadarinya, semuanya akan dipertanggungjawabkan kepada konstituennya di dunia ini dan terutama kepada Allah SWT kelak kemudian hari, dan selalu berusaha menjauhi sifat khianat.

Allah SWT berfirman dalam QS al-Anfal [8]: 27: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad), dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu sedang kamu mengetahui."

Sedangkan, itqan berarti kesungguhan dan kemantapan dalam melaksanakan suatu tugas, sehingga dikerjakannya secara maksimal, tidak sambil lewat, sampai dengan pekerjaan tersebut tuntas dan selesai dengan baik. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah sangat mencintai orang yang jika melaksanakan suatu pekerjaan, maka pekerjaaan tersebut dilakukannya dengan itqan." (HR Thabrani).

Karena itu, ihsan dan itqan harus selalu menjadi ruh dan spirit bagi setiap Muslim dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya, baik yang berhubungan dengan Allah SWT maupun dengan sesama manusia, sehingga pekerjaannya itu akan selalu bernilai ibadah dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Wallahu a'lam.

Redaktur: Siwi Tri Puji B